Barangsiapa meninggalkan ucapan yang
tidak perlu, maka dia akan diberi hikmah. Begitulah kalimat Umar Bin
Khattab. Sederhana, tapi tidak mudah untuk diaplikasikan. Terkadang kita
memang lebih suka memperkerjakan lisan daripada kedua telinga. Kita
lebih suka berbicara daripada mendengarkan. Memang, Berbicara itu
menyenangkan!
Ada banyak peristiwa di sekitar kita,
bermula dari ucapan. Perselisihan, salah paham, perbedaan dan beragam
peristiwa lain. Karena begitulah hidup, beragam, terdiri dari berbagai
macam sifat, tidak mungkin kalau harus memaksakan kehendak hanya untuk
sama.
Pada banyak peristiwa itu, peran yang seharusnya dimainkan oleh
manusia adalah tidak menjadikan kerikil menjadi sebuah batu besar,
apalagi membuatnya nampak seperti gunung. Perselisihan kecil, tak perlu
dibesar-besarkan. Perbedaan besar, jangan pula diapi-api sehingga
membakar.
Tapi kadang, kita memang sering tergoda untuk berlebihan. Dan bisa jadi saya sendiri sering terjebak dan lalai, melakukannya.
Sekali lagi, Berbicara memang menyenangkan, terlebih bila dibumbui
dengan ketidak benaran. Mungkin itulah yang terjadi pada kehidupan kita
sekarang, kebohongan merebak dimana-mana. Begitulah yang terjadi bila
masyarakat dibiarkan belajar kepada selain Islam, seperti kata Frederich
Nietzche, dia mengatakan, bagaimanapun kebohongan adalah sesuatu yang
diperlukan dalam kehidupan. “Lies are necessary to life,” begitu kata
Nietzche.
Tetapi, kita harus tegaskan pada diri kita bahwa Kaum Muslim itu tak mengikuti Nietzche, Kita bukan pengikut Nietzce!
Mari
mengingat kisah tentang Ka’ab bin Malik yang tak turut dalam perang
Tabuk. Dalam kitab Riyadhus Shalihin diriwayatkan, Ka’ab sendiri
berkata, “Aku tak pernah menemukan diriku sesiap ini, aku tidak pernah
menemukan diriku sekuat ini.” Ia merasa sangat siap dan kuat untuk
berangkat ke perang Tabuk. Tapi perjalanan perang itu ia tunda-tunda,
dan akhirnya ia batal untuk bergabung dengan pasukan Muslimin lainnya.
Ketika Rasulullah dalam perjalanan pulang ke Madinah, hatinya
berdebar-debar. Mempersiapkan alasan-alasan yang akan ia jadikan hujjah
mengapa tak turut berjuang di jalan mulia. Segala alasan telah ia
kumpulkan, “Aku adalah lelaki dengan lidah yang tajam. Niscaya jika aku
kemukakan alasan, Rasulullah akan menerimanya.” Persiapan kebohongan
itu, ternyata tidak membuatnya bahagia. Akhirnya Ka’ab berterus terang,
ia tak punya alasan ketika tak turut berperang.
Andai saja ia dusta, tentu ia tak dihukum demikian rupa. Selama
berhari-hari ia dikucilkan, bahkan oleh istrinya sendiri. Tatapan
matanya tak pernah bertemu dengan tatapan mata Rasulullah, lelaki yang
paling dicintainya. Salamnya tak pernah dibalas oleh penduduk Madinah.
Bumi yang luas, ia rasakan menjadi sempit menghimpit. Itulah yang harus
dibayar untuk sebuah kejujuran.
Tapi ketika firman Allah turun, “Dan terhadap tiga orang yang
ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah
menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun
telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta telah mengetahui bahwa
tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan kepada-Nya saja.
Kemudian, Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam
taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha
Penyayang.” (QS. at Taubah:118)
Ka’ab belum pernah merasakan hatinya bahagia, seperti kebahagiaannya
saat ayat ini diturunkan sebagai tanda penerimaan atas taubatnya.
Apakah kita akan menukar ridha Allah dengan ucapan yang terus kita
ada-adakan dalam kehidupan kita? Mungkin saat ini kita bahagia, tapi tak
akan ada manusia yang mampu menipu dirinya sendiri, terlebih menutupi
kebohongannya di depan Allah Subhanahuwata’ala.
Ustadzah Rukoyyah
(Guru Kuttab Al-Fatih Depok)